Jumat, 22 Oktober 2010

BERBAGAI PERAN ETNIS CINA DI PULAU BANGKA

ada tahun 1770, Sultan Kesultanan Palembang Darussalam, Ahmad Najamuddin Adi Kesumo (memerintah pada tahun 1758 - 1776) mulai mendatangkan pekerja-pekerja dari Cina untuk menambang Timah guna meningkatkan produksi timah di Pulau Bangka, sejak itu mulailah berdatangan orang-orang Cina dari Siam, Malaka, Malaysia dan dari Cina Selatan ke Pulau Bangka. Kebanyakan mereka berasal dari suku Hakka (Khek) dari Propinsi Guang Xi. Pekerja atau kuli tambang yang berasal dari Cina banyak yang berbaur dengan penduduk setempat atau masyarakat Melayu dan kemudian mereka menikah. Jadi pada dasarnya orang-orang Cina Bangka sekarang adalah keturunan dari perempuan Melayu (pekerja Cina yang datang umumnya laki-laki dan tidak membawa istri). Pekerja-pekerja Cina yang miskin ini sengaja dikontrak untuk menjadi kuli di tambang-tambang timah (parit) di Pulau Bangka untuk jangka waktu tertentu, termasuk untuk bekerja di parit-parit penambangan timah di Pangkalpinang (mereka oleh orang Bangka sering disebut Singkek Parit). Perkembangan dan populasi pekerja tambang timah dari Cina berkembang dengan pesat, hal ini terbukti, bahwa pada tahun 1816 terdapat 2.528 orang pekerja timah di Pulau Bangka.

       Berdasarkan catatan sejarah pada tahun 1848 jumlah penduduk etnis Cina di Pangkalpinang berjumlah sekitar 1.867 jiwa, kemudian  terus  berkembang  dengan  pesat  dan  berdasarkan sensus pada tahun 1920 terdapat 15.666 orang etnis Cina di Pangkalpinang dan merupakan 68,9 persen dari seluruh penduduk Pangkalpinang pada waktu itu (Elvian, 2006;4).

       Pada tahun 1803, J. Van Den Bogaart seorang pegawai Pemerintah Kolonial Belanda mengunjungi Bangka dan mendiskripsikan bahwa ada empat kelompok atau group masyarakat yang mendiami Pulau Bangka (Heidhues, 1992;87). Pada waktu itu tinggal di Pulau Bangka yaitu, orang-orang Cina, orang Melayu termasuk di dalamnya etnis lain dari berbagai pulau di Nusantara, Hill People sering disebut orang gunung, atau orang darat sekarang masih tersisa disekitar Gunung Maras yang disebut komunitas adat masyarakat Mapur dan Sea Dwellers disebut orang laut seperti komunitas masyarakat Sekak yang masih tersisa di Kedimpel, Tanjunggunung dan Jebu. Horsfield sebagaimana dikutip Heidhues pada tahun 1813 mencatat bahwa dimasa itu orang darat atau orang gunung dan orang laut masih sedikit dipengaruhi oleh Islam. Ini menjadikan alasan J. Van Bogaart tidak menggolongkan orang darat dan orang laut sebagai orang Melayu.
Keterbukaan struktur masyarakat Melayu Bangka dan kebudayaannya sangat memungkinkan untuk mengakomodasi perubahan-perubahan kebudayaan dan penyerapan unsur-unsur kebudayaan yang berbeda-beda, sepanjang perubahan dan penyerapan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama Islam, adat istiadat dan sopan santun Melayu. Itu pula sebabnya orang Melayu di Kepulauan Bangka Belitung cenderung dapat menerima kehadiran orang-orang lain yang bukan Melayu untuk hidup bersama dan membaur dalam suatu komunitas, baik dalam kontek pemukiman, kampung, rukun warga, maupun dalam konteks bertetangga atau bersebelahan rumah, bahkan banyak pula yang sudah merambah dalam bentuk hubungan yang lebih dekat lagi yaitu ikatan perkawinan (Nuraini, 2007;8). Sebagai contoh bagaimana rukunnya masyarakat Melayu dengan orang-orang Cina di Bangka sehingga ada pepatah yang mengatakan ”Fangin Tongin Jitjong” walaupun pada pengertian dan kontekstual tata bahasa istilah tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang sangat mendasar. Perkawinan antara orang Cina dengan orang Melayu di Bangka merupakan hal yang biasa, malah ada anggapan bahwa orang Cina Bangka sekarang adalah keturunan perempuan Melayu karena pada waktu mereka datang ke Bangka sebagai pekerja-pekerja di tambang-tambang timah (parit) mereka tidak membawa anak dan istri. Dalam bahasa Cina setempat dikenal istilah mencari ”Fan to” yang berarti mencari teman hidup atau pasangan hidup, yaitu perempuan Melayu. (Elvian, 2009;37).

Berbagai Peran Etnis Cina di Bangka

       Kontekstual peran orang-orang Cina di Bangka pada awalnya memang pada masalah ekonomi. Dalam catatan sejarah pada saat perang Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir dan Hamzah (1848-1851) dibantu oleh Awang, Bujang Singkip, Bujang Enggak, Dahan, Kai Sam, Ubin, Bangul, Tata, dan Darip. Perlawanan ini juga dibantu para Batin, Kepala-kepala Parit, orang orang Cina, para lanun dari Lanoa Mindanau, kerajaan Lingga dan Kesultanan Palembang serta seluruh rakyat Bangka. Bantuan yang diberkan kepala-kepala parit dan orang Cina tersebut umumnya bermotif ekonomi karena takut parit-paritnya diganggu oleh Amir dan pasukannya. Peranan orang Cina di Bangka kemudian bergeser ke berbagai bidang seperti; bidang agama, pendidikan, perjuangan dan penghianatan terhadap republik. Pergesaran peran tersebut tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang  pada waktu itu mengklasifikasi masyarakat atas Orang Kulit Putih sebagai warganegara kelas satu, orang Timur asing (Cina, Arab dan India) sebagai warganegara kelas dua dan orang-orang pribumi sebagai masyarakat kelas yang terakhir. Di Pangkalpinang Pemerintah Hindia Belanda mengangkat pemimpin bagi orang-orang Cina yaitu Majoor titulair der Chineezen Oen Kheng Boe (Wen Qing Wu) 1870-1925. Salah satu peninggalan yang dibangun oleh Majoor titulair der Chineezen Oen Kheng Boe (Wen Qing Wu) adalah  bangunan Hebe atau Banteng tertulis ROC (Republic Of China), tahun ke 6 yang berarti tahun 1917. Hebe pada awalnya adalah gedung pertemuan bagi orang orang Cina perantauan di Pangkalpinang yang kemudian berubah fungsi menjadi bioskop. Orang-orang Belanda mempunyai gedung pertemuan sendiri untuk berkumpul yang mereka beri nama Societet (gedung Panti Wangka sekarang) disamping itu mereka sering juga berkumpul di restoran Kutub Utara (noordpool) yang terletak di kawasan Pasar Mambo. Lokasi di sekitar depan Bioskop Banteng pernah dijadikan sebagai tempat bagi orang-orang Cina yang menamakan dirinya Tentara Keamanan Tionghoa (TKT) atau Po On Ton atau  sering disebut orang Pangkalpinang dengan Kocinko (Komando Cina Kota) yang dipimpin oleh Tjang Tjin Hon, Lie Tian Po dan Tan A Hin menyambut kedatatangan tentara Belanda dengan sukaria ketika terjadi Agresi Meliter Belanda Kedua (Ichsan, 2009;26).

       Dalam perjalanan sejarah terdapat berbagai peran etnis Cina di Bangka antara lain:

1.    Penyebar Agama Katolik

       Sejarah Gereja Pangkalpinang berawal dari mulai berkaryanya seorang tabib (shinse) Tionghoa yang beragama Katolik di Sungaiselan yang bernama Tsen On Ngie (Zeng Aner) yang lahir di Cina pada tahun 1795, pada tahun 1830 beliau datang ke Sungaiselan dari Penang Malaysia. Sejak tahun 1849 beliau mulai bekerja sebagai seorang tabib (shinse) dan berkeliling di Pulau Bangka mengobati orang-orang sakit, terutama buruh-buruh Cina yang bekerja di parit penambangan timah yang didatangkan dari Tiongkok. Banyak buruh-buruh tambang ini tertarik akan keteladanan Tsen On Ngie dan kemudian belajar agama Katolik kepada beliau, komunitas pemeluk agama Katolikpun terbentuk di Sungaiselan di bawah bimbingan Tsen On Ngie. Pada tahun 1849 pastor Claessens dari Batavia mengunjungi Sungaiselan dan mengkatolikkan 50 orang yang telah dididik dan dipersiapkan oleh Tsen On Ngie. Pada tahun 1853 Pastor Langenhoff dibenum untuk tugas di Sungaiselan dan Tsen On Ngie mendampingi beliau sebagai katekis (guru agama). Wilayah pelayanan pastor Langenhoff meliputi Bangka, Belitung, Palembang dan Riau dan malah berkembang sampai ke Kalimantan Barat. Pusat misi gereja di Bangka yang berawal di Sungaiselan, pada tahun 1853 di pindahkan ke Sambong (sekitar 8 km dari Pangkalpinang), dan kemudian pada tahun 1913 dipindahkan ke Pangkalpinang (Elvian, 2005;75). Penamaan kampung Semabung berasal dari Kata Sambong karena orang orang yang tinggal di Yung Fo Hin (panggilan orang Cina terhadap Semabung) awalnya berasal dari Desa Sambong (Elvian, 2009;51).

2.    Peran Dalam Bidang Politik

       Peran Politik orang-orang Cina di Pangkalpinang dapat diselusuri dari penamaan  kampung Bintang. Pada awalnya Kampung Bintang adalah parit penambangan timah. Pada kawasan ini terdapat kolong atau parit bekas penambangan timah yang disebut Kolong Bintang. Proses penambangan timah yang memisahkan antara tanah galian dengan pasir timah menghasilkan lumpur tanah liat yang oleh orang Bangka dikenal dengan sebutan Tahi Parit atau dalam bahasa Cina Bangka disebut tailing. Karena banyaknya tailing tersebut menumpuk dan umumnya pekerja parit adalah orang Cina yang tinggal di lokasi parit, maka kawasan tailing yang menumpuk tersebut mereka sebut dengan nama Nai Si Fuk (tanah tahi parit yang menumpuk).

       Pada sekitar bulan November 1907 orang-orang Cina di Pangkalpinang mendirikan Cabang Partai Persatuan Rakyat yang berpaham nasionalis (Partai Persatuan Rakyat, kemudian pada tahun 1911 berubah namanya menjadi Kuo Min Tang). Pihak Komunis kemudian juga mendirikan partai Kuo Chang Tang pada tahun 1912. Sejak tahun 1925 konflik (perang saudara) kekuasaan antara kaum nasionalis (Kuo Min Tang) dan kaum Komunis (Kuo Chang Tang) tidak dapat dihindari. Setelah Perang Dunia II, Perang Saudara Cina antara Partai Komunis Cina dan Kuo Min Tang berakhir pada tahun 1949 dengan pihak komunis menguasai Cina Daratan (Tiongkok) dan Kuo Min Tang menguasai Taiwan dan beberapa pulau-pulau lepas pantai di Fujian. Pada 1 Oktober 1949, Mao Zedong memproklamasikan Republik Rakyat Cina menjadi sebuah negara komunis. Sejak berdirinya dua partai itu antara orang-orang Cina di Pangkalpinang sering terjadi perselisihan dan mereka selalu membawa bendera masing-masing yang intinya berwarna merah dengan gambar beberapa Bintang. Orang-orang kemudian menamakan kawasan Nai Si Fuk yang pada waktu itu banyak berkibar bendera merah dengan gambar beberapa Bintang dengan sebutan Kampung Bintang (Elvian, 2009;51).

       Dari berbagai peran politik orang Cina, ada yang sangat nasionalis dan ada yang memihak ke penjajah atau penguasa pada waktu itu. Salah satu tokoh nasionalis Cina adalah Tonny Wen atau Boen Kim To (namanya menjadi nama salahsatu jalan di Kota Pangkalpinang). Tonny Wen lahir di Sungailiat, Bangka tahun 1911 dari keluarga yang berada, ayahnya seorang kepala parit Bangka Beliton Tin Maatschapy zaman Belanda. Tonny waktu kecil sekolah di Sungailiat, tamat SMP melanjutkan sekolah ke Singapura. Sesudah tamat SMA dia melanjutkan studi di U Ciang University, Shanghai dan kemudian Liang Nam University di Guang Zhou. Pada masa Kabinet Hatta, berdasarkan usulan AA. Maramis untuk mengumpulkan dana bagi perjuangan dengan cara menjual candu ke luar Negeri. Pada tanggal 13 Maret 1948 beliau tertangkap di Singapura. Setelah Tonny Wen keluar dari tahanan di Singapura lalu pulang ke Jakarta. Dia diangkat menjadi anggota DPR dari fraksi PNI 1954-1956 menggantikan kedudukan Drs. Yap Tjoan Bing, dan Tonny Wen menjadi anggota Konstituante, waktu itu dia bertempat tinggal di Jalan Jawa atau sekarang Jalan Cokroaminoto No. 62 A. Dalam sejarah Tonny Wen juga tercatat sebagai anggota Komite Olympiade Indonesia pada tahun 1950. Tonny Wen meninggal pada 30 Mei 1963 karena sakit dan dimakamkan di Menteng Pulo.

       Diantara peran politik orang Cina yang tidak Nasionalis adalah bagaimana peran Liem Tjai Lie (salah seorang dokter di Dinas Kesehatan Rakyat) saat dilaksanakan Konferensi Pangkalpinang yang dipimpin olehnya pada tanggal 1-12 Oktober 1946. Konferensi ini merupakan kelanjutan dari konferensi Federal di Malino Sulawesi Selatan pada tanggal 15-25 Juli 1946. Dipilihnya Pangkalpinang sebagai tuan rumah karena Belanda ingin menjadikan daerah-daerah di luar Pulau Jawa dan Pulau Sumatera sebagai basis kekuatannya. Konferensi ini bertujuan untuk penyatuan pendapat antara golongan-golongan minoritas (Eropa, Arab, Cina dan India), konferensi diikuti sejumlah 80 orang delegasi. Konferensi ini kurang disambut antusias masyarakat dan disertai dengan ketidak jelasan sikap etnis Cina yang tinggal di Pulau Bangka, hal ini dikarenakan keseganan mereka terhadap perjuangan kaum republik dan traumanya orang Cina di Pulau Bangka terhadap perlakuan dan kekerasan Pemerintah Kolonial Belanda dalam menumpas pemberontakan orang-orang Cina di Pulau Jawa. Dari sisi politis delegasi etnis Cina tidak memberikan usul yang berarti, mereka hanya mengusulkan tentang bantuan dan subsidi pendidikan terhadap sekolah Tiong Hoa Hwe Koan (THHK), perbaikan pelayanan kesehatan, dan perbaikan sistem perdagangan. Kaum Republiken sangat menentang konferensi ini karena merupakan strategi dan upaya H.J. van Mook, Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan Pemimpin NICA untuk membentuk negara Federal Bangka Belitung dan Riau dalam negara Indonesia Serikat yang merupakan Uni Indonesia - Belanda. Setelah perundingan Linggajati pada tanggal 10 November 1946 yang salah satu isi butirnya adalah Republik Indonesia Serikat  dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya. Kemudian dalam rangka membentuk Negara Indonesia Serikat tersebut, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Bangka Raad (Dewan Bangka Sementara) dengan Surat Keputusan tanggal 10 Desember 1946 Nomor 8 (STBL. 1946 Nomor 38) yang ditandatangani oleh Guvernemen General Nederlanshe Indie. Keputusan ini menjadikan Pulau Bangka suatu daerah otonom. Dewan Bangka Sementara ini merupakan lembaga pemerintah tertinggi di bidang otonomi. Sebagai ketua Dewan Bangka Sementara diangkatlah Masyarif Datuk Bendaharo Lelo yang didampingi seorang sekretaris yaitu Saleh Achmad. Dewan ini beranggotakan 25 orang yang terdiri dari 14 orang Indonesia, 9 orang Tionghoa serta 2 orang bangsa Belanda. Dari 14 anggota orang Indonesia, 13 orang dipilih dan 1 orang diangkat oleh residen, kemudian dari 9 anggota orang Tionghoa, 8 orang dipilih dan 1 orang diangkat oleh residen. Dari 2 anggota orang bangsa Belanda, 1 orang diangkat masyarakat dan 1 orang diangkat oleh residen. Kemudian dengan Surat Keputusan Lt. Guverneur General Nederlandshe Indie tanggal 12 Juli 1947 Nomor 7 (STBL. 1947 Nomor 123) Dewan Bangka Sementara ditetapkan sebagai Dewan Bangka dan ketuanya tetap dipegang oleh Masyarif Datuk Bendaharo Lelo. Setelah pelaksanaan Konferensi Pangkalpinang diadakan Konferensi Denpasar di Bali pada tanggal 24 Desember 1946. Konferensi ini berhasil melahirkan Negara Indonesia Timur. Upaya Pemerintah Belanda untuk membentuk negara-negara federal terus diupayakan, dalam bulan Januari tahun 1948 dengan Surat Keputusan Lt. Guverneur General Nederlandshe Indie Nomor 4 (STBL. 1948 Nomor 123) tanggal 23 Januari 1948, Dewan Bangka, Dewan Belitung dan Dewan Riau bergabung menjadi BABIRI yang kemudian akan dijadikan salah satu Negara Federal dalam Uni Indonesia - Belanda.  Kemudian pada tanggal 29 Mei 1948 dilaksanakan Konferensi Bandung yang diikuti oleh 3 orang utusan dari Pulau Bangka yaitu Masyarif Datuk Bendaharo Lelo, Se Siong Men, dan Joesoef Rasidi, Konferensi Bandung ini menyepakati berdirinya BFO (Bijeenkomst Voor Federal Overleg) yaitu sebuah Badan Permusyawaratan Federal yang beranggotakan wakil-wakil dari Negara Federal bentukan Pemerintah Belanda dan diharapkan juga nantinya Republik Indonesia juga ikut bergabung di dalamnya. Sebagai ketua BFO terpilih Sultan Hamid II dari Pontianak. Secara umum dapat disimpulkan bahwa konferensi ini berhasil membentuk BFO dan gagal mempengaruhi kaum republik dan rakyat untuk mendirikan Negara Bangka Belitung dan Riau, karena semangat nasionalisme dan patriotisme masyarakat Bangka khususnya warga Pangkalpinang.

3.    Peran Pada Bidang Pendidikan

       Peran dalam bidang pendidikan tampak pada saat Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1920 mendirikan sekolah HCS (Hollandsch-Chineesche School) dan sekolah ini setelah proklamasi kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia dijadikan sebuah SMP. Tercatat sebagai kepala sekolah pada waktu itu adalah Abdul Somad, Ong Soei Tjoen, Jap Kovi Koei, Tjan Hok Soen dan Abdul Muis. Sekolah ini sejak tahun 1984 dikembangkan menjadi SMP Negeri 1 Pangkalpinang dan terletak di Jalan Mayor Haji Muhidin Pangkalpinang.

Peran Politik Etnis Cina di Bangka di Era Desentralisasi

       Terjadi pergeseran peran yang signifikan dari etnis Cina di Bangka pada saat perubahan manajemen pemerintahan dari sentralisasi ke Desentralisasi. Dalam perkembangannya banyak etnis Cina Bangka dan Belitung yang terjun menjadi Politisi yang kemudian duduk di lembaga eksekutif dan Legislatif seperti Ahok, Rudianto Chen, Ng Min Hie, Bahar Buhasan, Telly Ghozali dan sebagainya. Partisipasi politik etnis Cina juga sangan tinggi dalam pemilihan umum, misalnya mereka ramai-ramai protes karena belum mendapatkan kartu pemilih yang hal ini sangat mustahil dilakukan pada masa sebelumnya. Sebagai gambaran pada saat pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah langsung yang demokratis pada hari Selasa, tanggal 24 Juni 2008 di Pangkalpinang yang dikuti oleh lima pasangan yaitu pasangan Drs. H. Zulkarnain Karim, MM dan Drs. H. Malikul Amjad memperoleh suara sebesar 39.414 suara atau 54,87 persen, pasangan Drs. H. Ridwan Thalib dan H. Iswandi yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN), yang memperoleh 5.212 suara atau 7,26 persen, pasangan Drs. H.A. Huzarni Rani, M.Si dan Yohanes Yudistira yang diusung Partai Golkar, memperoleh 6.537 suara atau 9,10 persen, dan pasangan Fifi Lety Tjahaja Purnama, S.H, L.LM dan Yugo Saldian yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang memperoleh 16.087 suara atau 22,39 persen serta pasangan Hidayat Arsani dan Drs. H. Djailani AB yang diusung dan didukung oleh Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bintang Reformasi (PBR), dan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK) serta Partai Damai Sejahtera (PDS), memperoleh 4.588 suara atau 6,39 persen dari jumlah suara sah sebesar 71.838 suara. Berdasarkan data di lima kecamatan dalam wilayah Kota Pangkalpinang perolehan suara adalah sebagai berikut :

 Nama Pasangan Calon  Perolehan Suara Untuk Pasangan Calon
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Kota Pangkalpinang
 Jumlah Akhir
 Bukit Intan  Rangkui  Pangkal
Balam
 Taman
Sari
 Gerunggang
Drs. H. Ridwan Thalib dan
H. Iswandi
 1.107804 1.086 618 1.597 5.212
Drs. H.A. Huzarni Rani, M.Si
dan Yohanes Yudistira
 1.1071.585 1.482 579 1.389 6.537
Fifi Lety Tjahaja
Purnama, S.H, L.LM
danYugo Saldian
 6.0435.058  3.218 7291.039 16.087
Hidayat Arsani dan
Drs. H. Djailani AB
 1.005970 1.071 417 1.125 4.588
Drs. H. Zulkarnain Karim, MM
dan Drs. H. Malikul Amjad
7.248 9.047 9.765 3.799 9.555 39.414
 
Sumber: KPU Kota Pangkalpinang

       Partisipasi politik penduduk Kota Pangkalpinang dalam pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah langsung cukup baik dari 116.014 Pemilih Tetap yang menggunakan hak suaranya sebesar  73.806 pemilih dengan suara tidak sah sebesar 1.968 suara. Jumlah suara tidak sah terbesar berada di Kecamatan Pangkalbalam dengan suara tidak sah sebesar 516 suara kemudian disusul Kecamatan Gerunggang dengan suara tidak sah sebesar 433 suara, Kecamatan Bukit Intan dengan suara tidak sah sebesar 426 suara dan Kecamatan Rangkui dengan suara tidak sah sebesar 399 suara, serta suara tidak sah terkecil berada di Kecamatan Tamansari dengan jumlah 191 suara. Dari 116.014 Pemilih Tetap, jumlah pemilih terbesar berada pada Kecamatan Rangkui dengan jumlah pemilih sebesar 28.269 pemilih yang tersebar di 62 TPS (Tempat Pemungutan Suara), kemudian disusul Kecamatan Bukit Intan dengan 27.076 pemilih dengan 68 TPS, Kecamatan Pangkalbalam dengan 26.733 pemilih dengan 62 TPS dan Kecamatan Gerunggang dengan 24.084 pemilih dengan  55 TPS serta pemilih terkecil berada di Kecamatan Tamansari dengan jumlah pemilih sebesar 9.852 pemilih yang tersebar di 20 TPS. Jumlah pemilih yang terdaftar laki-laki dan perempuan dalam pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah langsung Kota Pangkalpinang yang berlangsung pada hari Selasa, tanggal 24 Juni 2008 cukup berimbang yaitu terdiri dari 58.006 pemilih laki-laki dan 58.008 pemilih perempuan (Elvian, 2009; 3).

2 komentar:

  1. Salam kenal. Saya tertarik dengan buku-buku tentang pangkalpinang. Bagaimana cara memperolehnya ? Terimakasih. (www.bapang007.blogspot.com)

    BalasHapus