Jumat, 22 Oktober 2010

PERAN ORGANISASI SOSIAL SUKU BANGSA MELAYU BANGKA SEBAGAI KEARIFAN LOKAL DAN KEKUATAN SOSIAL DALAM PENATAAN DAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT 1

A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia memiliki keragaman budaya dan suku bangsa yang tersebar di seluruh pelosok nusantara, termasuklah masyarakat suku bangsa Melayu yang mendiami Pulau Bangka Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. M. Yunus Melalatoa dalam bukunya yang berjudul Ensiklopedi Suku Bangsa bahkan berhasil mendaftar sejumlah 497 suku bangsa Indonesia yang tersebar diseluruh pelosok Nusantara. Masing-masing masyarakat suku bangsa memiliki unsur kebudayaan seperti system kemasyarakatan, system kekerabatan, system mata pencaharian, sistem kepercayaan dan upacara religius, perangkat kehidupan, bahasa dan kesenian serta melaksanakan pola-pola hidup sendiri, hal inilah yang menunjukkan ke Bhinneka Tunggal Ika-an dan menjadi ciri dan karakteristik dasar Bangsa Indonesia. Kehidupan manusia dikelilingi oleh peristiwa kebudayaan, karena manusia selalu berupaya untuk mempertahankan eksistensi dirinya dalam kehidupan yang mengharuskannya selalu bersinggungan dengan lingkungan sekitar, baik lingkungan fisik dan non fisik. Peristiwa kebudayaan dapat berupa tradisi budaya atau kebiasaan budaya (cultural habits) dan dapat pula berupa aturan budaya (cultural law). Proses pembentukan peristiwa kebudayaan berlangsung berabad-abad dan teruji sehingga membentuk suatu komponen yang betul-betul handal, terbukti dan diyakini dapat membawa kesejahteraan lahir dan batin bagi manusia. Komponen inilah yang disebut dengan Jatidiri. Di dalam jatidiri terkandung kearifan-kearifan lokal (local wisdoms) yang merupakan hasil dari local genius dari berbagai masyarakat suku bangsa yang ada di Indonesia. Kearifan-kearifan lokal inilah seharusnya yang dirajut dalam satu kesatuan kebudayaan untuk mewujudkan suatu nation (bangsa) yaitu Bangsa Indonesia.
C. Kluckhouhn seorang antropolog mengemukakan, bahwa terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu wujud ideal berupa ide-ide atau gagasan, berwujud sistem sosial atau perikelakuan dan yang berwujud material yakni berupa kebendaan. Setiap masyarakat suku bangsa tentu memiliki unsur kebudayaan dan tiga wujud kebudayaan di atas. Pola-pola hidup masing-masing masyarakat suku bangsa sebagai unsur kebudayaan dan kearifan lokal adalah salah satu hal yang membedakan antar masyarakat suku bangsa di Indonesia. Perbedaan pola-pola hidup dapat dilihat dari pola organisasi sosialnya, dapat dilihat dari tingkah laku budayanya dan dapat dilihat pula dari benda-benda budaya yang dihasilkannya. Dari ketiga hal tersebut, ciri yang menonjol dari perbedaan masyarakat suku bangsa dan kebudayaan yang ada di Indonesia adalah terletak pada organisasi sosial yang berlaku pada masing-masing masyarakat suku bangsa. Masing-masing kebudayaan dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan nilai, norma, aturan dan pengetahuan masing-masing masyarakat suku bangsa. Kebudayaan pada masing-masing masyarakat suku bangsa terwujud dalam tingkah laku budaya dan pada bentuk-bentuk pranata sosial yang berlaku. Dengan memahami tingkah laku budaya dan pranata sosial, maka dapat diinventarisasi model kebudayaan pada masing-masing masyarakat suku bangsa. Pranata sosial adalah sistem peranan dan norma yang terdapat dalam interaksi manusia sebagai bentuk suatu aktivitas khusus dari manusia yang bersangkutan. Pranata sosial biasanya sangat berpengaruh pada tindakan-tindakan yang terwujud, karena dalam pranata sosial tertata status dan peran dari warga masyarakat. Pengorganisasian peran dan status pada masing-masing masyarakat suku bangsa menunjukkan suatu kekuatan sosial bangsa Indonesia yang sangat majemuk serta multikultur, untuk itu perlu dilakukan inventarisasi terhadap bentuk organisasi sosial yang ada pada masing-masing masyarakat suku bangsa sebagai ciri yang menonjol dari perbedaan masyarakat suku bangsa dan kebudayaan yang ada di Indonesia. Kegunaan inventarisasi terhadap organisasi sosial suku bangsa di Indonesia adalah sebagai sarana dalam menerapkan berbagai program pembangunan pada masing-masing masyarakat suku bangsa karena organisasi sosial merupakan dasar bagi masyarakat untuk berbagi peran dan status sehingga pola-pola kehidupan yang berlaku dapat tertata baik secara tradisional maupun nasional, apalagi sejak era reformasi yang telah merubah sistem manajemen pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik yang sangat memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri. Perubahan manajemen pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik antara lain melahirkan daerah-daerah pemekaran baru dan terjadinya eksploitasi yang berlebihan terhadap potensi dan kekayaan alam di daerah. Pemekaran wilayah dan eksploitasi terhadap kekayaan alam yang berlebihan menyebabkan hal-hal negatif seperti sengketa perbatasan atau batas wilayah, perebutan dan penyerobotan terhadap penguasaan serta hak kepemilikan lahan, kerusakan serta berkurangnya daya dukung lingkungan alam akibat eksploitasi yang berlebihan. Bila hal-hal negatif ini terus dibiarkan akan menimbulkan ekses yang kurang baik dan cenderung pada perpecahan, kerusakan serta kerusuhan yang lebih luas bahkan cenderung mengarah kepada disintegrasi bangsa.

B. Kerangka Konseptual/Pemikiran
Organisasi sosial (social organization) pada suatu masyarakat bukanlah sekedar sejumlah orang yang mendiami sebidang tempat, seperti halnya sebuah mobil bukanlah sekedar setumpuk kepingan besi. Jika digunakan sebagai kata benda, maka organisasi sosial berarti cara membagi para anggota masyarakat ke dalam kelompok-kelompok beserta tata cara tetap yang mereka ciptakan. Jika dipakai sebagai kata kerja, maka organisasi sosial merupakan suatu proses pembentukan kelompok-kelompok dan pengembangan pola-pola asosiasi dan perilaku tetap, yang kita sebut sebagai lembaga sosial atau social institution (Horton dkk, 1999;211). Kelompok dan hubungan peran dalam organisasi sosial terutama didasarkan pada kekerabatan dan perkawinan (Keesing, 1992;208). Dalam organisasi sosial terkandung pola-pola pengaturan kehidupan bermasyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Pengaturan-pengaturan ini terlihat dari adanya keteraturan dalam masyarakat dan adanya keterulangan aktivitas dalam masyarakat. Wujudnya adalah aturan-aturan, norma-norma, nilai-nilai, pandangan hidup dan sebagainya yang membimbing, mengarahkan perilaku yang kemudian membuat perilaku-perilaku ini tampak teratur, tampak berulang dan dapat diperkirakan.
Keberadaan organisasi sosial dapat diketahui dari adanya aktivitas-aktivitas sejumlah individu bersama-sama yang berulang kembali dalam waktu-waktu tertentu, adanya nilai-nilai, norma dan aturan yang mengendalikan atau membimbing perwujudan aktivitas-aktivitas. Seringkali individu-individu ini tergabung dalam suatu kelompok dengan nama tertentu. Dalam banyak masyarakat, organisasi sosial lokal biasanya mempunyai nama-nama lokal dalam bahasa lokal. Oleh karena itu organisasi sosial seperti ini biasanya juga khas sifatnya yang berarti organisasi dengan nama lokal tersebut tidak ditemui di tempat lain atau pada masyarakat suku bangsa yang lain. Organisasi sosial lokal seringkali tidak diketahui lagi sejak kapan adanya, karena sudah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya selama puluhan dan bahkan mungkin ratusan tahun. Organisasi seperti ini disebut organisasi sosial lokal tradisional. Dalam setiap masyarakat organisasi sosial lokal selalu ada, tidak ada masyarakat tanpa organisasi sosial dan organisasi sosial tersebut punya peran, punya fungsi, yakni aktivitas yang diharapkan dapat memberikan manfaat tertentu kepada masyarakat dan kebudayaan setempat. Jika fungsi ini tidak ada, atau tidak terpenuhi, organisasi sosial tersebut lama kelamaan akan menghilang dari masyarakat, karena masyarakat akan merasa bahwa organisasi sosial tersebut tidak memberikan keuntungan sama sekali terhadap kehidupan mereka. Ada berbagai fungsi yang dapat atau mungkin dipenuhi oleh organisasi sosial, diantaranya adalah fungsi sosial dan fungsi kultural. Fungsi sosial adalah sumbangan-sumbangan atau hal-hal yang diberikan oleh organisasi sosial kepada unsur-unsur kehidupan sosial atau kepada keseluruhan kehidupan sosial itu sendiri. Unsur-unsur kehidupan sosial seperti sistem politik, sistem hukum, sistem kesenian, dan sistem ekonomi. Fungsi budaya adalah sumbangan-sumbangan atau hal-hal yang diberikan oleh organisasi sosial tersebut kepada unsur-unsur dari sistem budaya atau kepada keseluruhan sistem budaya. Unsur-unsur sistem budaya misalnya nilai-nilai, pandangan hidup, norma-norma dan aturan-aturan.
Organisasi sosial lokal tradisional memiliki berbagai kedudukan (status) dan peran (role) di dalamnya, kemudian ada individu yang bertindak sebagai ”pemimpin” atau ”pengatur”. Dialah yang memimpin pertemuan-pertemuan, menentukan saat-saat untuk melakukan aktivitas tertentu, menentukan pembagian kerja dalam aktivitas tersebut dan sebagainya. Adanya aktivitas-aktivitas bersama sejumlah individu yang relatif tetap inilah yang kemudian memunculkan kesan adanya sejumlah individu yang mengelompok dalam suatu kesatuan tertentu yang kemudian disebut ”perkumpulan tradisional, lokal”. Ketika organisasi ini bertambah besar, jumlah status dan peran di dalamnya biasanya juga akan bertambah banyak dan organisasi ini kemudian bertambah kompleks sifatnya. Organisasi sosial lokal ada yang formal, ada pula yang informal, walaupun pada awalnya semua organisasi sosial lokal tradisional semacam ini bersifat informal, artinya, organisasi semacam itu tidak memiliki struktur organisasi yang jelas, tidak memiliki aturan-aturan tertulis berkenaan dengan hak, kewajiban serta hukuman-hukuman yang dapat dikenakan pada anggotanya yang melanggar peraturan. Sifat informal membuat organisasi sosial lokal tradisional tampak begitu luwes dalam menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakatnya. Organisasi sosial juga mencakup pranata-pranata yang menentukan kedudukan lelaki dan perempuan dalam masyarakat dan dengan demikian menyalurkan hubungan pribadi mereka. Kategori ini pada umumnya dibagi lagi dalam dua jenis atau tingkat pranata-pranata, yaitu pranata yang tumbuh dari hubungan kekerabatan dan pranata yang merupakan hasil dari ikatan antara perorangan berdasarkan keinginan sendiri. Struktur-struktur kekerabatan mencakup keluarga dan bentuk kelompok yang merupakan perluasan keluarga seperti suku atau klen. Ikatan di antara orang yang bukan kerabat melahirkan banyak macam bentuk pengelompokan mulai dari ”persaudaraan sedarah” dan persahabatan yang dilembagakan sampai ke berbagai macam ”perkumpulan” rahasia dan bukan rahasia (Ihromi, 1999;82).

C. Identifikasi Etnik
Ada beberapa pengertian tentang Melayu, antara sebagai ras (bangsa) dan sebagai suku bangsa. Dalam tulisan ini, yang dimaksudkan dengan Melayu adalah salah satu suku bangsa yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang majemuk. Sebutan Melayu yang paling awal muncul sebagai nama sebuah kerajaan yang berpusat di hulu Sungai Jambi. Kerajaan ini pernah disinggahi selama dua bulan oleh seorang pendeta agama Budha berasal dari Cina bernama IT-SING dalam perjalannya dari Kanton ke India pada tahun 644 M. Dalam salah satu bukunya yang ia selesaikan antara tahun 690 dan 692 ada keterangan yang menyatakan, bahwa sementara itu Melayu telah menjadi kerajaan Sriwijaya (Soekmono,1973;38). Selanjutnya dari lima prasasti peninggalan Kedatuan Sriwijaya termasuk prasasti Kota Kapur di Bangka ditulis dengan menggunakan huruf Pallawa dengan menggunakan bahasa Melayu kuno. Difinisi Melayu kemudian berkembang dengan ditandai runtuhnya Keprabuan Majapahit dan mulai berkembangnya Islam yang dimulai dari Pasai pada tahun 1400 M, selanjutnya terbentuklah wadah baru berupa komunitas Islam yang disebarkan dari Malaka ke segenap penjuru Nusantara. Penyebaran Islam disertai pula dengan pembukaan jalur perdagangan Islam melalui Aceh (Pasai), Kedah, Teluk Benggala, Malabar, Baghdad, Oman, Persia dan Mesir. Malaka menjadi Bandar Dunia dan pusat penyebaran Budaya Melayu. Masyarakat Islam yang berada di bawah pengaruh budaya dan Imperium Malaka itu disebut orang Melayu. Penduduk orang Melayu tersebut ialah penduduk di Semenanjung tanah Melayu (Malaya), Singapura, Thailand Selatan, kemudian Pesisir Timur Sumatera (di tepi Selat Melaka dan Laut Cina Selatan) yaitu Temiang, Langkat, Deli-Serdang, Asahan, Labuhan Batu, Riau, Pesisir Jambi, Pesisir Palembang, Bangka, Belitung. Selanjutnya meliputi juga wilayah Kalimantan Barat, Serawak dan Brunei serta beberapa tempat diaspora seperti Kompong Chom (Kamboja), di Sri Lanka dan Afrika Selatan (Luckman Sinar, 2003). Melayu yang dimaksudkan adalah Melayu prazaman kolonial yaitu jenis manusia pribumi di gugusan Kepulauan Melayu atau dalam bahasa Inggris ”The Malay Archipelago”. Wilayah ini termasuklah bumiputera dari Siam, Semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan India Timur (East Indies) yang sekarang digelar Indonesia dan pulau-pulau yang sekarang digelar Philipines (Shafie, 1995).
Seorang Melayu adalah seseorang yang beragama Islam, berbahasa Melayu, beradat Melayu dan mengakui Melayu (Luckman Sinar, 2001). Kemudian istilah Melayu yang dipakai di Bangka Belitung mempunyai beberapa penafsiran antara lain pertama, merujuk pada mereka yang beragama Islam. Dengan penggunaan rujukan ini maka “siapa saja” yang beragama Islam dapat digolongkan sebagai orang Melayu. Di Bangka setiap orang yang  masuk Islam dan bersunat atau berkhitan disebut dengan masuk Melayu. Selanjutnya di Bangka ada orang Mapur (suku terasing) yang sudah masuk Islam digolongkan sebagai orang Melayu (sedangkan yang tidak beragama Islam menyandang sebutan orang Lom, yang bermakna ”Lom (belum) masuk Islam”. Tentu saja dengan rujukan ini orang Cina yang masuk Islam, secara ringan hati diterima dimasyarakat sebagai orang Melayu (walaupun pada awalnya kebanyakan pekerja parit dari Cina kawin dengan perempuan Melayu). Sebelum agama Islam menjadi agama yang dianut oleh masyarakat Bangka, pada sekitar abad 16, penduduk asli, dikenal dengan sebutan ”orang darat (disebut juga orang gunung”) dan ”orang laut”. Pada tahun 1803, J. Van Den Bogaart seorang pegawai Pemerintah Kolonial Belanda mengunjungi Bangka dan mendiskripsikan bahwa ada empat kelompok atau group masyarakat yang mendiami Pulau Bangka (Heidhues, 1992;87). Pada waktu itu tinggal di Pulau Bangka yaitu, orang-orang Cina, orang Melayu termasuk di dalamnya etnis lain dari berbagai pulau di Nusantara, Hill People sering disebut orang gunung, atau orang darat sekarang masih tersisa disekitar Gunung Maras yang disebut komunitas adat masyarakat Mapur dan Sea Dwellers disebut orang laut seperti komunitas masyarakat Sekak yang masih tersisa di Kedimpel, Tanjunggunung dan Jebu. Horsfield sebagaimana dikutip Heidhues pada tahun 1813 mencatat bahwa dimasa itu orang darat atau orang gunung dan orang laut masih sedikit dipengaruhi oleh Islam. Ini menjadikan alasan J. Van Bogaart tidak menggolongkan orang darat dan orang laut sebagai orang Melayu.
Kemudian istilah Melayu juga dirujuk berdasarkan persamaan penggunaan bahasa induk yaitu bahasa Melayu Bangka. Sebagaimana daerah lain di Nusantara Pulau Bangka memiliki bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakatnya yaitu Bahasa Daerah Melayu Bangka. Dalam bahasa Melayu Bangka secara umum, bunyi [e] ditulis sebagai é dan diucapkan seperti pada ngapé, siapé, bunyi [e] ditulis sebagai e seperti kemane, siape, pada daerah Bangka Barat (Mentok bunyi gabungan huruf [a] dan [e] dibaca sebagai e lemah ditulis dengan lambang ∂ seperti contoh tumb∂k, emp∂s, dan ada tanda baca yang dipakai sebagai berikut /e/  Elang, perimpeng, kemane, ape. /é/  siapé, kemané, apé dan tanda ?  dibaca huruf /q/ contoh aso? Dibaca /asoq/. Tanda ? dan q dibaca sebagai klemah, huruf GH=/R/ contoh tepeghuq, dibaca/tepe Ruq/. Kesinambungan penggunaan bahasa Melayu Bangka sebagai bahasa ibu antar generasi (intergenerational mother tongue continuity) saat ini merupakan salah satu identitas atau jatidiri dari masyarakat Melayu Bangka. Saat ini bahasa daerah Melayu Bangka mempunyai lima dialek utama yaitu dialek Mentok, dialek Belinyu, dialek Toboali, dialek Sungailiat dan dialek Pangkalpinang (Silahidin, 2001). Dialek tersebut seperti, bahasa Bangka dialek Toboali, Bangka Selatan dengan ciri, dalam pengucapan huruf S sering diucapkan atau diganti dengan huruf H seperti sabun menjadi habun namun tidak semua huruf S berubah menjadi H seperti susu tetap susu bukan huhu, sisir tetap sisir tidak menjadi hihir. Kemudian bahasa Bangka dialek Pangkalpinang vokal umumnya sama dengan bahasa Bangka secara umum seperti [e] yang diucapkan é seperti siapé, letéh, ngapé lalu vokal U diucapkan menjadi O seperti déq kaloq a artinya tidaklah, ku jadi ko artinya aku, kemudian adalagi bahasa Bangka dialek Belinyu (Bangka Utara), vokal a dalam bahasa Indonesia dan e dalam bahasa Bangka dialek yang lain berubah atau sering diucapkan o pada ragam dan dialek Belinyu khususnya pada akhir kata seperti c

Tidak ada komentar:

Posting Komentar